Radio Isolasido
Episode 3
Dengan menggunakan seni bunyi sebagai perangkat sosial, Radio Isolasido mengajak pendengar untuk mengurai hal-hal yang terisolir sehingga menumbuhkan fenomena akustik dan pemahaman yang komprehensif melalui ansambel artefak bunyi naratif dan non-naratif dalam artikulasi artistik populer, eksperimensial dan multilingual.
Terdapat 6 karya serial yang ditampilkan di semua episode yaitu; 4 puisi populer yang diterjemahkan ke bahasa prokem LGBTQI+ dan dibacakan oleh Tamarra, seorang seniman kontemporer asal Yogyakarta; suara burung yang langka dan sudah punah; musik naratif karya komposer asal New Zealand Jack Body yang menuturkan pengalamannya mempelajari musik klasik Tiongkok; tutorial masakan survival oleh komunitas asal Indonesia Timur yang tinggal di Yogyakarta; puisi karya Handoyo Purwowijoyo; dan karya vokal artificial intelligence dari Raung Jagad Synthetic.
Episode ketiga menampilkan pidato WS Rendra yang dibacakan oleh almarhum Gunawan Maryanto diiringi perkusi oleh Ramberto Agozhali, puisi Tragedi Winka dan Sihka karya Sutardji Calzoum Bachri dalam bahasa LGBTQI+, suara burung Rangkong asal Kalimantan yang sudah langka dan burung Huia asal Selandia Baru yang telah punah, musik dari instrumen kinetik karya Julian Abraham, lagu Panglima Prang dari Nyawoung Aceh, komposisi musik artificial intelligence dari Raung Jagat Synthetic, cuplikan podcast dari Chronic Waiting karya Mumtaz Chopan tentang pengalaman seorang pengungsi asal Afghanistan yang tinggal di Indonesia, nyanyian folklore dari suku Inuit, Kanada, nyanyian suku Hmong, Vietnam dan musik gong dari Chamasac, Laos, lagu Magadhir dari Moses Bandwidth, seri ketiga musik naratif karya Jack Body, lagu A Wonga Dance Song karya Ryuichi Sakamoto, dan beberapa sound design karya Bona Zustama. Musik tema Radio Isolasido diciptakan oleh Asep Nayak, produser musik Wisisi dari Wamena, Papua.
Foto karya Ican Harem
English
By using the art of sound as a social tool, Radio Isolasido invites listeners to unravel isolated things so as to foster acoustic phenomena and a comprehensive understanding through the ensembles of narrative and non-narrative sound artefacts in popular, experimental and multilingual artistic articulation.
Radio Isolasido is a temporary radio initiated by Wok The Rock, developed with Gatot Danar Sulistiyanto as a part of the Biennale Jogja XVI.
There are 6 serial works that will be shown in all episodes: 4 popular poems translated into the Indonesian LGBTQI+ slang language and read by Tamarra, a contemporary artist from Yogyakarta; rare and extinct bird sounds; narrative music by New Zealand composer Jack Body who describes his experience studying classical Chinese music; a survival food cooking tutorial by a community from Eastern Indonesia living in Yogyakarta; poetry by Handoyo Purwowijoyo; and artificial intelligence vocal work by Raung Jagad Synthetic.
Episode 3 featured WS Rendra’s ‘Mempertimbangkan Tradisi’ read by the late Gunawan Maryanto accompanied by percussion by Ramberto Agozhali, the poem ‘Tragedi Winka dan Sihka’ by Sutardji Calzoum Bachri in LGBTQI+ slangs, the sounds of the the extinct Huia bird from New Zealand along with endangered Rangkong bird from Kalimantan, kinetic instruments music by Julian Abraham, song Panglima Prang by Nyawoung Aceh, artificial intelligence music from Raung Jagat Synthetic, podcast clip from Mumtaz Chopan’s Chronic Waiting project about the experience of an Afghan refugee living in Indonesia, folklore songs from the Inuit tribe, Canada, Hmong tribe singing from Vietnam and gong music from Chamasac, Laos, Magadhir song by Moses Bandwidth, third series of narrative music by Jack Body, song A Wonga Dance Song by Ryuichi Sakamoto, and some sound designs by Bona Zustama. Radio Isolasido’s theme music was made by Asep Nayak, a Wisisi music producer from Wamena, Papua.
Artwork by Ican Harem.